Mama selalu menyarankan kepada banyak orang yang baru menikah untuk tidak memiliki anak banyak. Terakhir mama mengatakan tentang ini adalah ketika kami menaiki taksi menuju BEC Bandung. Si supir taksi baru saja memiliki seorang bayi.
Beliau pun berkata “cukup satu atau dua anak saja. Yang terpenting adalah dapat membuat mereka bahagia. Tidak ada hal yang lebih menyedihkan sebagai orang tua ketika melihat anaknya tidak bisa bahagia karena kita. Rasa-rasanya sungguh berdosa menelantarkan anak sendiri…” dan disambut dengan anggukan mantap sang supir taksi.
Seperti kata-katanya, mama tidak pernah mengatakan ‘tidak’ setiap aku menginginkan sesuatu sejak aku kecil. Begitu juga papa. Bedanya, papa akan ‘mewawancarai’ aku terlebih dahulu, menanyakan kegunaan, kepentingan, dan prioritas jika dibandingkan dengan barang-barang lain yang aku inginkan.
Ketika teman-temanku sibuk bermain masak-masakan dengan daun-daun kering, aku sibuk bermain dengan barbie mahal keluaran terbaru. ketika teman-temanku menghabiskan liburannya bersepeda keliling komplek, aku menghabiskan liburanku ke banyak tempat wisata di Indonesia. Aku mengalami masa kecil yang istimewa.
Hingga situasi itu mulai aku rasakan. Suatu hari, saat aku masih SD, aku datang ke rumah salah seorang temanku bernama Mia. Keluarganya sangat sederhana. Bahkan kamar mandinya tidak ada lantainya. =(
Disana kami bermain masak-masakan dengan daun hijau. Aku mengambil pisau dan mulai mengiris daun. Sedangkan Mia sibuk dengan air dan bunga-bungaan. Kemudian ibu Mia, yang tidak lain adalah tetangga seberang nenekku datang menghampiri kami. Beliau kaget setengah mati melihat aku mengiris daun dengan pisau dapurnya lalu beliau berkata padaku sambil mengambil pisau itu, “dida, mainnya jangan pakai pisau ya… nanti tangannya bisa luka, nak… bisa berdarah, nanti ibu di tanya eyangmu gimana? biar Mia aja ya yang pegang pisaunya…”. Ibu Mia tidak langsung pergi melainkan memberi pisau itu kepada anaknya sambil berkata dalam bahasa jawa, “kowe iki piye toh nduk?! lek dulinan nganggo lading, dida ojo diwenehi! Mengko tangane kebeler!” (kamu ini bagaimana sih nak?! Kalau mainan pakai pisau, dida jangan dikasih! Nanti tangannya luka!).
Aku pun bertanya pada Mia, “kalau kamu boleh pakai pisau, kok aku nggak boleh?” dan Mia menjawab dengan santai sambil memotongi daun, “ya kalau kamu luka nanti ibuku takut ngomong ke eyangmu. Kalau aku yang luka, hehehe… udah sering…” katanya sambil nyengir.
Kejadian serupa aku alami saat kelas empat SD. Saat itu, aku dan kelima temanku berkumpul di rumah Devi untuk memasak bersama. Menunya adalah nasi goreng. Dari kelima orang yang ada, hanya aku yang nggak boleh ikut masak. Mereka justru mempersilahkan aku duduk dan bilang “nggak usah ikut masak, nanti tanganmu kena wajan panas… kita aja yang masak… oke?” dan ku balas dengan anggukan pelan.
Begitupun selesai makan, aku menawarkan diri untuk mencuci piring. Tetapi mereka malah bilang, “jangan, nanti tangan kamu kotor lho… kamu belum pernah cuci piring, kan? Cuci piring itu kerjaan kotor, banyak sisa makanannya…” dan mereka bersikeras mengerjakannya tanpa aku.
Kejadian seperti ini berlangsung terus-menerus hingga kini. Banyak sekali orang disekitarku yang memanjakan aku. Saat aku SMP, supir antar-jemput sekolah, pak Wito, dengan baik hati menjemput aku jam sembilan malam! Padahal aku hanya pergi menonton basket. Pak Wito juga mau mengantarkan aku pergi ke Mall. Bahkan, saat dia mendapatkan gaji pertamanya, aku dan teman satu mobil ditraktirnya makan Bakso Ciliwung.
Aku ingat saat kelas satu SMA, aku les drum bersama salah satu sahabatku. hampir setiap pulang les, dia mengantarkan aku meskipun rumahnya dekat sekali dengan tempat les kami. Kiki, salah seorang teman sekelasku bahkan rela menghabiskan jam makan siangnya dengan hanya duduk menunggui aku yang sedang mengalami pre-menstruasi syndrom. Bahkan ia juga mau kesana-kemari memintakan obat di UKS dan mencari guru piket untuk memberikan surat ijin pulangku.
Pengalaman lebih berkesan adalah saat aku kuliah di Surabaya. Wow! Teman-temanku baik sekali! Ada yang rela menemaniku hingga aku dijemput pada malam hari. Beberapa juga mau mengantarkan aku pulang jam tiga pagi.
Bahkan, yang membuat aku sedih sekaligus senang, aku memiliki seorang teman yang nasibnya tidak seberuntung aku. Hidupnya benar-benar berantakan. Tapi kamu tahu? Dia bahkan rela tidak pulang demi menemani aku menyelesaikan tugas. Menemani aku tidur diatas karpet yang dingin. Dan dia selalu ada disetiap aku butuh teman untuk curhat. Dia juga pernah merayakan idul adha bersama keluargaku. Dia juga memanggil ‘mama’ ke mamaku. Dia juga nggak jarang membantuku menyelesaikan masalah dan memberi masukan. Ditengah konflik hidupnya yang berat, dia selalu ada buat aku. Bahkan hanya untuk menemani aku duduk menikmati rujak manis di sore hari. Dia seperti kakak perempuan yang selama ini aku harapkan.
Kadang aku bertanya pada Tuhan, apakah mungkin orang-orang baik seperti mereka akan tetap aku temui? Aku tidak bisa membayangkan jika jawabannya tidak. Bayangkan, bukan hanya orang tuaku dan kakak laki-lakiku yang selalu memanjakan aku. Tetapi keluarga besarku! Teman-temanku! Lingkunganku! Oh my God!
Hal yang mungkin tersulit adalah mendapati bahwa tidak semua orang dapat bersikap baik padaku. Ketika suasana menjadi seperti ini, aku masih ingin mencari jawaban, sikap manjaku ini, bawaan lahir atau terbentuk oleh situasi?
wah berat nih...
ReplyDeleteorang yg 'diberkahi' kyk mbak ini kudu gede syukurnya, kalo ga.. bisa ga masuk list 'para penghuni sorga' loh..
beneran!
menurutku.. manja dulu bisa ada karena feodalisasi.. yg ditiru oleh rakyat jelata
ReplyDeletemanja terbentuk oleh situasi, dan orang-orang manja biasanya selalu minta tolong ma orang lain sebelum ia berusaha sendiri. kalo kyk mbak ini... bukan manja, tapi 'hidupnya diberkahi kemudahan'..
makanya.. harus banyak-banyak bersyukur..
wahh wahh.. masa sihh? thankyouuu thankyouuu ... hehehe
ReplyDeleteberarti aku ini bukan manja ya?
tp aku memang sering minta tolong orang disekitarku... (dan itu jadi kebiasaan sampai sekrang) jadi kadang susah sendiri, mau ini itu jadi takut sebelum berperang...
hihihi...
untung sekarang ngekost. jadi mau ngapa-ngapain, suka nggak suka harus dilakuin sendirian...