Aku telah memutuskan untuk menulis. Meskipun papa sempat mendiamkan aku seminggu ini. Aku lebih nyaman menulis seharian didepan laptop ketimbang harus duduk didepan soal-soal kimia selama dua jam. Dua jam sudah cukup untuk membuat sebuah cerpen baru. Pagi ini papa masih mendiamkan aku. Aku tahu, dia ingin menjadikan aku penerusnya, orang yang memiliki rasa seni tinggi pada benda-benda berbau arsitektur indah. Aku suka dengan seni. Sangat suka. Namun apa harus pada benda-benda tinggi menjulang?? Apa harus bentuk-bentuk besar itu?? Kenapa bukan secarik kertas dan pensil??
Ini adalah cerpen yang belum setengah aku kerjakan. Aku diam termangu memandang huruf-huruf pada keyboard yang tulisannya mulai hilang karena sentuhan jari-jariku. Kali ini pikiranku buntu. Aku lupa jalan ceritanya. Ah,, ini karena papa. Aku jadi susah konsentrasi. Aku ke dapur membuat the hangat. Pagi ini dingin sekali karena semalam hujan lebat. Aku sempat basah kuyup karena baru pulang les.
Rumah ini terasa lenggang. Papa dan mama sudah berangkat. Pagi ini orang tuaku sibuk sekali, kulihat ruang makan bersih. Tampaknya mereka tak sempat makan pagi. Bicara tentang makan, sudah setahun ini aku jarang berkumpul dengan orang tua dan kedua adikku untuk makan bersama. Biasanya, aku dan keluargaku makan malam di café om Hanung di hari-hari istimewa seperti hari ulangtahun salah satu dari kami. Awalnya, kami hanya senang makan di cafe om Hanung, karena sering, akhirnya kenal juga dengan pemiliknya. Om Hanung memiliki pribadi yang menyenangkan. Dia menghadapi hidup bagai air mengalir. Beda dengan orang tuaku yang menginginkan segalanya sempurna. Seperti nilai ujianku yang harus sepuluh. Ah,, munafik. Tak pernah ada yang sempurna didunia ini... .
Ini sudah tiga gelas teh hangat dan semangkuk cornflakes yang masuk perutku. Pikiranku masih buntu. Apa yang ingin aku lanjutkan dari cerita ini?? Sebenarnya, akhir-akhir ini aku banyak sekali masalah. Bukan hanya masalah papa. Tetapi juga nilai-nilai ujianku, perilakuku disekolah, dan mas Thomas. Mas Thomas sudah memarahiku dua kali dalam minggu ini. Dia kecewa dengan hasil kerjaku. Dia bilang, aku mulai nggak kreatif, aku mulai kehabisan ide cerita. Aku hanya diam menunduk sambil mendengarkan amarahnya yang makin keras saja ditelingaku. Bahkan, aku masih ingat percakapanku dengannya saat itu.
“Goblok!! Goooooobllooooooooooooooooookk!! Kalau kamu nggak niat, nggak usah kerja!! Tahu kamu,, diiiiii luuaaaarrr sanaaaaaa!!! Masih banyak penulis muda yang lebih kreatif dan berebut untuk aku rekrut!! Mereka bisa nulis lebih baik dari tulisan ecek-ecek ini!!!!!!!” bentak mas Thomas padaku sambil melempar hasil tulisanku. Kertas-kertas itu berserakan dilantai.
“kenapa diem aja?!?!?! Sadar ya kalau nggak bisa kasih tulisan kreatif lagi?!?! Kenapa sekarang masih duduk disini?!?! Kenapa nggak duduk didepan sambil belajar bikin surat pengunduran diri?!?!” bentaknya kasar.
“guru-guruku mulai protes, mas...” kataku pelan.
“terus??” tanyanya sambil memandang tajam. Mas Thomas membetulkan letak duduknya.
“nilai-nilai ujianku pada turun. Ya mau nggak mau mas... aku harus bisa buat prioritas. Aku pilih sekolah. Bukannya aku diterima kerja disini karena nilai-nilaiku baik?? Dan aku mau pertahankan itu. Aku nggak bisa mas, aku nggak mau kalah gara-gara aku harus milih antara nulis dan sekolah. Aku yakin aku bisa lakukan dua-duanya...” jawabku sambil memunguti kertas-kertas yang berserakan itu. Mas Thomas diam sebentar.
“well, kamu sudah dua minggu ini lho, Ta...” katanya sambil memandangku. “hhh... aku nggak ngerti, Ta... sumpah!! Kamu dulu punya fans banyak... orang-orang itu beli majalah XD karena tulisan kamu yang bagus... kenapa sekarang gini?? Nilaimu turun... tulisanmu acak-acakan... kalau ini gara-gara papamu, udahlah... nanti dia juga akan ngerti... Ta, aku nih pusing banget ditagih terus-terusan sama atasanku... kayaknya kamu break aja dulu dua atau tiga minggu,, sementara biar mbak Novi aja yang gantiin kamu ini...”
Tak ada tawar menawar dengan mas Thomas. Aku diam lama. Aku berhenti nulis?? Mana mungkin?? Aku pengen banget buat prioritas dan nulis yang pertama. Berkali-kali mas Thomas memaksaku. Akhirnya aku luluh juga. Aku diberi waktu dua minggu, setelah lewat dan hasilku jelek,, artinya aku harus istirahat sampai kenaikan kelas untuk mengembalikan nilai-nilaiku. Aku pulang dan kesal sekali. Apalagi ketika papa sudah mendudukkan aku di ruang keluarga. Bencana. Papa marah besar dan menyuruhku dengan paksa untuk berhenti menulis agar aku sukses mendapatkan nilai bagus dan masuk sekolah yang lebih tinggi yang sudah ia rencanakan untuk aku.
Lamunanku buyar karena semilir angin yang menggoyangkan rambutku. Aku masih duduk didepan laptop di beranda atas. Aku harus bisa buat cerita ini. Aku yakin bisa!! Aku nggak butuh diam dan mengulangi semua ini karena aku percaya aku mampu melakukannya tanpa gagal. Tiba-tiba semangat menulisku muncul lagi, rasanya sama saat mas Thomas memberiku bonus karena hasil polling majalah XD, karya-karyaku menjadi favorit hampir semua pembaca dan malamnya aku langsung membuat empat cerita baru.
Akupun mulai mengetikkan huruf per huruf, kata demi kata, paragraf berantai. Dan,, whalaaaa!! Sebuah cerpen jadi dalam sekejap. Seperti acara sulap di TV... . aku mulai menulis lagi. Tiga jam kemudian, dua cerpen baru telah lahir.
Aku buru-buru beranjak dari dudukku lalu menyambar handuk dan bergegas mandi. Aku tahu mas Thomas pasti menerima karya-karyaku. Aku mengambil ransel butut dan memasukkan tiga cerpen baru kedalamnya. Kusetir sepeda motor berwarna pink menuju kantor redaksi majalah XD. Aku berlari ke ruang mas Thomas. Sambil terengah-engah, aku menyerahkan cerpen dari dalam ransel pada mas Thomas yang tak berkedip memandang aku dengan sejuta heran.
Selama ini, seumur hidupku ini, aku tak pernah gagal melakukan sesuatu. Aku selalu berhasil. Aku selalu berusaha keras untuk dapatkan apa yang aku mau. Meski disekitarku hilang semangat, aku selalu berusaha tumbuhkan semangat baru dalam diriku meskipun sulit. Aku selalu dapat buktikan pada orangtuaku kalau aku adalah Nita yang kuat. Dan aku tak pernah gagal!!
Mas Thomas membaca halaman terakhir ceritaku. Lalu dia meletakkan kacamata minusnya diikuti hembusan nafas panjang. Dia memajukan wajahnya sambil memandang wajahku yang berkeringat dan sedang menanti tanggapannya. Mas Thomas tersenyum puas. Puas dengan karyaku.
“aku tahu kamu bisa, Ta...” kata mas Thomas.
No comments:
Post a Comment