Untuk Ben yang pernah mengisi hari-hariku,
Aku menulis surat ini untukmu. Lama sudah kita tak saling bicara, bahkan hanya untuk bertegur sapa...
Di suatu pagi, aku bangun dengan perasaan yang aneh. Aku merasa lemah, tapi aku terus bergerak menjalani hari-hariku...
Tahukah kau, Ben? Aku berusaha melupakanmu, tapi kau selalu ada disini, didalam hatiku...
Aku masih ingat betul pertemuan kita.
Saat itu cahaya matahari sore menembus celah dedaunan yang rindang di taman depan kampus. Udara kota yang menyesakkan sedikit berkurang disana. Aku yang sedang duduk disalah satu bangku taman, mendengarkan candaan teman-temanku. Sebenarnya, ini sudah jam pulang. Tetapi aku dan teman-temanku malah asyik bercanda.
Aku sedikit melamun menghadap meja. Tiba-tiba hembusan nafas diiringi asap rokok dari sebelah kanan membuyarkan lamunanku. Sontak aku menoleh kekanan. Dan kulihat sesosok cowok jangkung duduk menghadap kearahku. Sebatang rokok menghiasi bibirnya yang manis. Rambutnya sedikit acak-acakan dengan poni yang menutupi sebelah matanya. Sorot matanya teduh namun angkuh. Tinggi badannya membuat pandangannya tampak ‘tinggi’ pula. Kaos putihnya terlihat begitu pas dibadannya. Kalung hitam menghiasi lehernya. Jeans belel menambah lengkap gayanya yang ‘asyik’. Kami saling pandang.
“hai...” sapanya setelah menghisap rokok yang sekarang ada di sela jarinya. “kita kan belum kenalan...” lanjutnya. Pandangan matanya terus kemataku. Sesekali dia tengadah dan mengeluarkan asap rokok dari mulutnya.
Cowok itu mengulurkan tangannya. Aku yang tak mau terlihat begitu memperhatikannya langsung dengan santai menjabat tangannya. Hangat. Itu yang aku rasakan. Kami hanya saling pandang tanpa saling bicara. Tangan kami masih saling menggenggam.
“eh...” kata cowok itu segera tersadar, “nama kamu siapa??”
“Lena...” kataku, “kamu siapa??”
“Ben” jawabnya singkat. Aku merenggangkan jabatan tanganku.
Mungkin seperti itu jika menjadi sebuah cerita. Cerita tentang pertemuan kita.
Ingat saat kita berdua ditangga, Ben?? Itu moment yang memang sulit aku lupakan. Bukan karena tinggi kita sama saat kau berdiri di anak tangga yang dua lebih rendah dari yang aku jajaki. Tapi, disaat itulah aku merasakan satu getaran aneh. Terlebih ketika kita saling pandang, ketika memandang matamu yang hanya ada bayangku disana. Aku mulai menyukaimu, Ben... tepat saat kau memeluk tubuhku disana. oh, Aku harus mengulangi kalimat terakhir tiga kali hingga aku benar-benar percaya telah merasakannya.
Beberapa malam ini aku sulit tidur, Ben. Mataku pun sembab karena terlalu lama menangis. Mungkin kau kurang pandai berbohong padaku. Mungkin jika kau bisa lebih menutupi hubunganmu dengan Anggie, aku tak akan sesakit ini. Kau pernah janji akan menjaga perasaanku. Apa kau ingat, Ben? Seharusnya, jika kau ingin mempermainkan aku, kau harus lebih baik. Kau terlalu bodoh untuk hal seperti ini. Atau aku yang terlalu pandai menebak? Entahlah, yang jelas, saat melihatmu berdua dengan Anggie, hatiku teriris tipis-tipis dan perlahan.
Ben, ada beberapa teman yang bertanya, apakah kau dan Anggie sepasang kekasih. Sebenarnya, aku selalu ingin bertanya, kenapa harus aku? Kenapa mereka tak mencoba bertanya padamu langsung. Bukankah itu lebih baik ketimbang mendapat jawaban dariku yang hanya sebatas senyum. Mana aku tahu? Apakah kau masih ingat, kau pernah bilang, bahwa kau dan Anggie hanya sebatas teman dan kalian bersahabat? Buatku, persahabatan kalian terlalu manis, Ben. Kenapa kau tak juga mengakuinya? Aku hanya ingin kepastian. Bukankah itu yang dibutuhnkan banyak wanita?
Ben, bila aku boleh bebas bicara. Ada yang ingin aku katakan. Sangat ingin aku katakan....
Bukan ini yang aku mau, ben...
Aku ingin kita bisa normal seperti sepasang kekasih yang biasa kita lihat. Bukan yang harus sembunyi-sembunyi didepan banyak orang, terlebih didepan sahabatku maupun sahabatmu. Kau selalu menyuruhku untuk jujur. Tapi kenapa kini kau bohong padaku? Terlalu banyak janji yang kau ungkap, padahal aku hanya ingin satu saja yang ingin kau tepati untukku, bukan untuk Anggie. Please jaga perasaanku. Apa karena Anggie yang begitu baik padamu hingga kau melupakan aku? Apa karena Anggie yang bersedia membelamu hingga kau meninggalkan aku? Apa karena Anggie? Apa memang karena dia?
Sekarang coba pikir, Ben. Setiap kau meminta sesuatu, apa aku pernah menolaknya? Apa saat kau tak dapat membantuku, aku jadi marah padamu? Setiap kau ingin bicara padaku, tengah malam sekalipun, apa aku pernah tak menghiraukanmu? Pernahkah aku hilang saat kau inginkanku? pernahkah aku macam-macam dengan cowok lain? Pernahkah aku meremehkanmu? Pernahkah aku cuek padamu? Pernahkah aku melakukannya?
Sekarang pikirkan satu hal lagi, pernahkah kau melakukan semua yang pernah aku lakukan padamu dengan jujur?
Aku ini apa? Aku memang nggak penting. Aku lihat kamu jalan sama cewek lain, aku bisa apa? Aku mau marah, marah ke siapa? Aku mau jelaous, aku siapamu? Aku Cuma bisa nangis dan marah pada diri sendiri.
Kalau kamu mau tahu, sakit rasanya, Ben...
No comments:
Post a Comment