“Tikus bungsu yang gendut pendek mungil ini bernama Ave, Ave memiliki seorang kakak bernama Kuku…”
Itu kata-kata pembukaan presentasiku dari script film kartun yang aku buat. Satu kelas pada ketawa semua. Soalnya ‘Ave” ituh nama temenku dari SMP. Dan lebih gilanya lagi, dari sekian banyak anak, yang bikin script film kartun dengan segmentasi anak-anak Cuma aku!
Gila! Sempet nafas-gag-nafas-gag gituh… harap-harap cemas sebelom presentasi.
Bayangin ajah, ada yang ceritanya diperkosa. Ada yang konflik keluarga level tinggi, ada yang nasionalismenya menonjol. Macem-macem dan gag satupun, aku ulangi, gag satupun ada yang nyeritain tikus got aneh bernama Ave kecuali aku.
Aku ceritain tentang Ave dan kehidupan yang kadang sangat tidak berperiketikusan. Sekelas hening. Semua ngedengerin ceritaku. Kadang ada yang ketawa ngakak, nggak sedikit juga yang bilang lucu dan aneh. Sooooo different!
Aku juga sadar sih, ceritanya gag basi, kayak beras, gag basi kaloo gag dimasak. Tapi aku optimis, cerita ini gak bakalan basi meskipun udah jadi film. Meskipun udah dimasak berulang-ulang.
Selesai presentasi, aku nanya, “ada yang kurang jelas? Mungkin ceritanya ada yang kurang? Ada yang salah? Atau ada yang nggak sesuai?”
Lagi-lagi, satu kelas hening.
“ehm, “ dehem dosenku, pak imung memulai kata-katanya karena dipikir semua nerima ajah ama tulisanku.
“tulisanmu bagus da… bagus sekali…” sebuah senyuman mengembang dibibirku. Huaaaaaaaaa!!! Senangnya dipuji begituuuu…. >.<
“tapi, ini yang harus kalian pahami…”
Sekelas hening. Aku mulai diam menatap pak imung.
“menjadi seorang penulis memang tidak mudah. Ketika menyesuaikan teori dengan tulisan-tulisan kita, maka tulisan itu tidak akan cepat jadi…”
Aku mikir, wuaaaaahh… berarti aku bener, ngikutin teori nggak bakal idup! Hohoho… aku kembali tersenyum.
“tetapi, ketika menulis script, satu yang harus disadari penulis yaitu, apakah filmnya dapat direalisasikan?”
Pak imung diam menunggu.
“bayangan saya, film ini akan seperti kungfu panda atau bee movie…”
“Ehm, ” pak imung berdehem lagi. Aduuuhhhhh!
“ya, ya, ya… tapi pikirkan, apakah orang Indonesia sudah mampu membuatnya? Apakah anak DKV sudah semaju itu? Mampukah membuat film kartun yang sesuai dengan bayanganmu?”
Aku diam. Kelas mulai komentar.
“buatlah sebuah script yang visible. Tetapi bagus, lanjutkan ceritamu menjadi sebuah novel… mungkin ada penerbit yang tertarik dengan Ave…”
Ini yang namanya fatal.
Ketika tidak ada motif, kita bisa mengganti sebagian cerita dengan dimunculkannya motif.
Ketika tidak ada selling point, kita bisa menambah sebuah bagian baru untuk mendapatkan selling point.
Ketika tidak visible, kita hanya bisa menyimpan cerita itu baik-baik. Berharap suatu saat cerita ini menjadi ‘mungkin’ untuk difilmkan.
Maju dong, perfilman Indonesia! Satu yang harus disadari, film anak-anak itu bagus untuk mendidik anak-anak, menghibur penonton, dan melatih otak kita sebagai penciptanya untuk menjadi lebih baik dari ini.
Berkarya yuuuk!
No comments:
Post a Comment