Are you here because google didn't show you the right list from your keyword?
Monday, October 4, 2010
Nasi Gandul, Kuliner Bersantan Khas Kota Pati
Awal Oktober 2010 kemarin, saya melakukan perjalanan wisata singkat ke kota Pati. Sepanjang perjalanan Surabaya-Pati di jalur pantura, saya disuguhi pemandangan laut yang indah dan pepohonan khas daerah pantai.
Saat melewati kota Tuban, saya menyempatkan diri untuk mampir ke daerah seputaran Masjid Agung Tuban untuk membeli buah khas daerah pantai, buah siwalan. Daging buah yang mirip seperti kelapa muda ini kenyal dan memiliki rasa yang menyegarkan, cocok sebagai camilan disiang hari yang panas.
Pukul setengah sembilan malam, saya meluncur ke salah satu tempat nasi gandul yang terkenal di kota Pati. Namun sayang, saya datang terlambat karena dagangan nasi gandulnya telah habis oleh pembeli. Salah seorang rekan menyarankan saya untuk mencoba nasi gandul yang berada di alun-alun kota Pati.
Di alun-alun kota Pati, saya menemukan sebuah warung nasi gandul bernama Adinda. Karena penasaran, saya pun langsung memesan nasi gandul. Sang penjual pun menawari saya beberapa lauk, diantaranya adalah daging, empal, jeroan sapi, dan telur ayam. Saya memilih daging sapi yang dijual per-porsinya delapan ribu rupiah.
Ketika pesanan saya datang, aroma khas masakan yang dihidangkan di atas pirng beralas daun pisang ini langsung menyeruak ke hidung saya. Selera makan saya semakin menggebu. Saya mencicipi nasi gandul untuk pertama kalinya. Porsinya tidak banyak, cocok sebagai pengganjal perut atau sebagai santap malam bagi Anda yang sedang diet.
Beberapa suapan pertama, saya sedikit sulit mengungkapkan rasanya. Rasa santan yang gurih melekat begitu kuat di lidah, begitu juga dengan daging sapi yang empuk, enak sekali.
Pada saat membayar, saya bertanya maksud dari nama “nasi gandul” pada ibu yang melayani pesanan saya tadi. Si ibu langsung tertawa terbahak sambil berkata “soale gondal-gandul, mbak…”, mendengar jawabannya saya ikut tertawa. Kemudian beliau membenarkan, “namanya nasi gandul soalnya itu lho mbak, kan dialasi daun pisang, jadi ora langsung nempel piringnya jadi seperti nggantung, makanya dikasih nama nasi gandul…”.
Setelah perut kenyang, saya kembali ke Hotel untuk beristirahat, menyiapkan tenaga untuk esok kembali ke Surabaya. (Dida)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment