Selamat malam para pembaca… =)
[ohh… opening kali ini benar-benar terasa keki!]
Okay then. Seminggu ini aku disibukkan dengan sebuah kegiatan rutin : MENGELUH. Ya, terdengar sangat menyebalkan. Aku mengeluhkan kamarku yang terasa panas. Aku mengeluhkan dua ekor nyamuk yang tiba-tiba muncul dan mulai menggigitku. Aku mengeluhkan betapa sulitnya skripsiku. Aku bahkan mengeluhkan les bahasa inggris yang belum aku mulai!
Aku benar-benar mengeluhkan hampir semua kejadian dihidupku. Menggelikan. Aku merasa seperti nenek berusia 60 tahun yang hidup sendirian dan tidak punya pekerjaan selain mengurus seekor kucing bulukan. Nenek tua yang tidak puas dengan hidupnya, mengatai kucingnya ini-itu tapi tetap memandikannya dengan sabun cuci baju hingga bulu si kucing rontok dimana-mana.
Manusia memang diciptakan sebagai manusia yang tidak pernah puas dengan apa yang telah dimilikinya. Aku memang manusia biasa. Skripsi yang satu ini memang telah mengutukku. Aku merasa seperti berdiri ditengah lapangan yang sangat luas, terbakar karena kilatan petir dan bingung harus berbuat apa karena setiap gerakku akan memicu petir-petir berikutnya.
Hal yang bodoh adalah aku menangis saat berdoa pada Allah. Dia tidak akan menyukai melihatku menangis. Hal yang Dia harapkan dari aku adalah perubahan, bukan tangisan. Setelah puas mengeluh selama beberapa hari. Allah mulai menyadarkan aku dengan tamparan-tamparan kecil-Nya.
Dua hari yang lalu, ibu temanku terserang penyakit stroke. Keadaanya pun semakin parah hingga hari ini. Temanku ini hanyalah anak SMA biasa yang berasal dari keluarga biasa. Keadaan ini membuatnya terpukul. Dia sukses membuatku iba.
Tadi sore, Mega datang ke kosan. Dia baru pulang dari Bali. Kami bercarita banyak. Ya, seperti biasa namun dengan gosip yang sangat minim. Hehehe…
Saat Mega pamit pulang, aku mengantarkannya ke depan. Seorang bocah laki-laki melewati kosanku membawa tas kotak berisi box es. Ada sesuatu yang membuat aku tertarik untuk memperhatikannya. Aku tahu dia menatapku tapi aku juga tak kunjung mengalihkan pandangan.
Dia seumuran Niko sepupuku, namun tubuhnya kurus dan tentu saja berkulit hitam. Siapa dia? Kenapa dia lewat sini? Pertanyaan-pertanyaan mendasar dan sedikit nggak penting untuk dipikirkan justru terlintas dikepalaku.
Ya Allah! Aku dibuat terkejut ketika melihatnya mendekati seorang wanita paruh baya, berkerudung putih, dan membawa box es yang sama. Ternyata ibu itu adalah penjual minuman prebiotik keliling. Penjual keliling. Berapa sih untungnya? Dibandingkan dengan lelahnya ia harus berjalan kaki menawarkan dagangan dari rumah ke rumah.
Membantu ibunya berjualan, ha? Betapapun terpaksanya ia melakukan hal itu, itu adalah sebuah bentuk pengabdian pada orang tua yang mengetuk hatiku. Belum tentu semua orang mau disuruh berpanas-panasan menenteng box es dan menawarkannya dari rumah ke rumah.
Dia masih juga menatapku yang memperhatikannya. Hhh… kasihan. Aku dan Mega memang akhirnya membeli dagangan si ibu, hitung-hitung untuk membantunya melariskan dagangan. Tapi siapa yang menyangka kalau anak tadi mengingatkan aku untuk bersyukur.
Aku bersyukur karena tidak harus jualan keliling untuk bisa berkuliah. Aku bersyukur karena orang tuaku masih mampu untuk menuruti semua kemauanku. Aku bersyukur karena aku bisa seperti ini. Aku harus selalu bersyukur bisa hidup dalam keadaan seperti ini.
Sepertinya Allah berusaha menamparku dengan tangan kecil-Nya agar aku sadar. Kejadian beberapa hari terakhir ini terlalu baik untuk aku keluhkan. Namun berapa kali pun aku merasa ditampar dan sadar, dalam kurun waktu tertentu aku akan kembali mengeluhkan hidupku lagi. Ahh… tampaknya aku ini memang manusia biasa.
Tampar aku jika aku lupa bahwa hidupku ini jaauuuuhh lebih baik dari mereka yang berkesusahan.
Have a good night guys…
No comments:
Post a Comment