matahari bersinar cerah. angin berhembus memasuki tiap-tiap lubang jendela, memberikan aroma pantai yang khas. sudah hampir seminggu Bu Nunik tidak menyusuri pantai untuk mencari ikan kecil dan kepiting. penyakit tuanya memaksa untuk beristirahat dirumah. berbekal keterpaksaan, Bu Nunik hanya mengandalkan dua kilogram beras dan uang sepuluh ribu untuk biaya makan ia dan Rana selama seminggu.
selama sakit, ia menjadi sering memperhatikan Rana, anak gadisnya. anak ini, tak pernah punya teman bermain dan bercakap-cakap. tidak juga Rana bercakap pada ibunya. setiap hari ia hanya duduk di atas potongan kayu pohon yang diletakkan melintang didepa rumahnya, diatas pasir putih. setiap hari ia hanya mendengar deru ombak, kicau burung, dan derit kayu-kayu tua yang menjadi tembok rumahnya. setiap hari, ia akan memejamkan mata ketika angin menerpa wajahnya dan melambai-lambaikan rambutnya. setiap hari ia hanya melihat garis laut dan burung camar. sesekali ia mengikuti ibunya hanya untuk melihat ikan-ikan kecil berenang dan melihat rumput laut yang banyak terpapar dipasir seperti jejak Rana yang menyusuri pantai.
dua puluh tahun sudah, namun ia tidak pernah mengucap kata sesal telah melahirkan Rana. Ia akan membayar dengan apapun demi kehidupan Rana. baginya, Rana, sama seperti anak lainnya. Rana juga permata.
bagi Bu Nunik, kehidupan Rana hanya ada dua, senang dan sedih. anaknya tidak tahu bagaimana mengekspresikan emosi. ia akan menjerit-jerit ketika sedih dan berlari-lari ketika senang. Rana tidak pernah memikirkan uang atau bagaimana ia mendapatkan makanan. anaknya istimewa, tidak seperti kebanyakan anak pada umumnya, namun Bu Nunik menerimanya dengan tabah hati.
siang ini, hari ke lima Bu Nunik tidak bekerja. seharian ia duduk di potongan kayu pohon. Rana menghilang sejak pagi hari. tubuh Bu Nunik yang tua dan sedang tidak sehat membuatnya harus puas menunggu Rana didepan rumah tanpa mencarinya. dilihatnya matahari mulai terbenam dengan indah. setiap hari selalu indah, pikirnya.
lama menunggu Rana, Bu Nunik memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. angin malam tidak baik untuknya. lagi pula, ia belum membuat bubur untuk makan malam. Bu Nunik segera menyibukkan diri di dapur.
tak lama berselang. Rana berjalan riang, sesekali jinjit kakinya meninggalkan suara di lantai kayu. sekali. dua kali. derit-derit lantai kayu membentuk irama mengikuti langkah kaki Rana. Ibu Nunik yang sudah tua itu tahu bahwa anak semata wayangnya baru saja datang dan ia sedang bergembira.
"Ibuuuu..." panggil Rana pada ibunya. sekali lagi ibunya dibuat yakin bahwa Rana sedang bergembira. tak biasanya Rana memanggil ibunya dengan panggilan yang panjang dan nyaring. ia terbiasa mendengar suara tangis anak gadisnya.
"Ibuuuu..." panggil Rana sekali lagi. kali ini Bu Nunik keluar dari dapur setelah selesai membuat bubur. "apa Nduk?" tanyanya. suaranya tidak pernah menggambarkan emosi kemarahaan atau kesedihan. Bu Nunik selalu terdengar tegar dan sabar pada Rana.
betapa terkejutnya Bu Nunik melihat tangan dan kaki Rana penuh luka. kecil-kecil namun mengeluarkan darah. beberapa bagian dari daster berwarna krem dengan gambar bunga tulip berwarna-warni itu juga sobek di beberapa bagian ujungnya. sekujur tubuhnya pun basah kuyup.
"Ibuuuu..." panggil Rana sekali lagi sambil memberikan senyum pada ibunya.
"ya Tuhan! Nduk... badanmu kok jadi lecet-lecet begini..." kata Bu Nunik yang tak mampu membendung kesedihannya. dipegangi bagian-bagian tubuh anaknya, diperhatikannya luka-luka itu dari dekat. dibaui tubuh Rana, bau air laut. dielusnya perlahan rambut Rana yang basah, pasir putih banyak menempel disana. Rana masih juga mempertahankan senyum pada ibunya.
"ada apa Nduk?" tanya Bu Nunik yang menatap mata anaknya sangat dekat dan lekat. Rana masih juga memperlihatkan senyumannya. ternyata anak ini bisa tersenyum, pikir ibunya.
Rana berbalik menuju pintu utama rumahnya. ia berlari kembali sebelum ibunya sadar akan meneriakinya untuk kembali. dibawanya sebuah jaring kecil penuh dengan ikan dan kepiting. jaring yang biasa Bu Nunik gunakan untuk menyimpan ikan dan kepiting tangkapannya. "Ibuuuu..." kata Rana sambil menunjukkan jaringnya. ia berjalan mendekati ibunya.
Bu Nunik tak mampu membendung tangis. dipeluknya Rana yang masih memegang jaring ikan. "oalah Nduk... Kamu ini..." Bu Nunik tak bisa meneruskan kata-katanya. ia hanya menangis memeluk Rana. isak tangisnya tenggelam oleh suara deburan ombak. "oalah Nduk... ibu nggak tahu kalau Kamu ngerti..."
"ibu nggak tahu kalau Kamu belajar untuk ngerti..." kata Bu Nunik yang memeluk Rana erat.
No comments:
Post a Comment