hai... hai...
selamat pagi! dini hari tepatnya ya? hehehee...
sabtu ini aku menyia-nyiakan dengan tidur! oh no! jadi, td pagi aku sempat bangun, ngelirik ke jam dinding ternyata setengah tujuh pagi. udah aja, aku tidur lagi... begitu bangun, lihat jam dinding, eh, setengah tujuh lagi! aku pikir apa aku yang salah lihat... ngecek ke handphone, jam dua siang! damn!
ini semua gara2 begadang. huhuhu...
well, lupakan tentang hari yang sia-sia, kali ini aku mau cerita tentang pengalaman pertamaku mencoba makan di angkringan. hehehe...
tanggal 25 mei 2010 yang lalu, aku dan ketiga temanku, Pras, Angger, dan Kang Ricco memutuskan untuk makan malam di warung nasi lemak diseputaran Gazibu. porsinya memang tidak banyak tapi cukup mengenyangkan. seporsi nasi lemak plus ayam bakar dihargai 11.000 rupiah. bisa juga ditambah tempe atau tahu bakar.
setelah menikmati nasi lemak, kami bingung mau kemana. pengennya nongkrong yang murah tapi dekat, mengingat kosanku yang sekarang diberlakukan jam malam. entah ide siapa yang tiba-tiba mencuat dan menjadi kesepakatan bersama untuk meluncur ke angkringan didepan kampus ITB.
angkringan, seperti yang sebagian orang tahu dari literatur yang ada, berasal dari kata angkring (bahasa jawa) yang artinya kurang lebih duduk santai. angkringan biasanya menggunakan terpal berwarna biru/oranye sebagai penutup, malam itu, angkringan yang kami singgahi memakai terpal berwarna oranye (terang dan menyolok) hahaha. didalamnya ramai sekali cowok-cowok seumuran dan beberapa berperawakan lebih tua dari aku sedang menikmati makanan didepan mereka. aku satu-satunya cewek yang datang, sempat terlintas ini kesalahan datang ke angkringan, kesannya menjadi horror. hahaha! padahal sebenarnya biasa-biasa saja.
dibawah temaram lampu lima watt, Angger memesankan kami makanan. Kang Ricco dan aku sebelumnya tidak pernah memakan "nasi kucing". i thought it was real cat inside. lol!
dulu, waktu jaman chatting di MIRC, ada anak jogja yang bercerita tentang asal mula nasi kucing. katanya raja-raja dikeraton pada jaman dahulu itu sakti-sakti dan dapat menyulap makanan yang sesedikit "nasi kucing" itu bisa membuat perut masyarakatnya kenyang. well, i don't know it's true or not. bisa jadi juga kan? bagi info dong kalo memang bener gitu :)
tapi setelah membaca sana-sini, kata mereka, ia diberi nama nasi kucing karena porsinya yang sedikit, seperti porsi ketika memberikan makan pada kucing. aku nggak tahu bentuk asli nasi kucing yang versi jogja ataupun solo. tapi nasi kucing yang dijual di angkringan ITB ini dibungkus kertas coklat, berisi nasi (sedikit sekali!), sambel, dan separuh bagian ikan kecil yang diasinkan. harganya hanya 1500 rupiah! sayangnya, malam itu si pedagang lagi laris, nasi kucingnya tinggal satu, jadilah Kang Ricco dan yang lain mengalah untuk mencobanya. hehehe...
selain memesan nasi kucing, ada juga sate telur puyuh, sate-sate lain seperti jeroan, kemudian ada beraneka kerupuk. untuk minumannya ada bangsa teh (teh hangat dan es teh) dan kopi arang. aku nggak suka sate telur puyuh-nya, jadi setelah pesan, anak-anak yang menghabiskan bagianku. hehehe... bukan karena rasanya, tapi ada bau telur rebus yang khas dan lebih tajam dari biasa, jadi aku urung untuk memakannya meski tampaknya tidak ada yang aneh. lihat saja waktu si Pras memakannya dengan lahap...
yang aneh adalah kopi arang. aku pikir kopi itu terbuat dari arang, ternyata prosesnya setelah kopi jadi, arang yang masih panas, berwarna merah itu dicelupkan kedalam kopi. EEEWWWW! karena aku agak ragu (takut keselek arang. hehehe! nggak ding, bercanda...), jadi nggak ikut minum, cuma ikut foto pake kopinya aja... hehehe... kata anak-anak sih biasa aja kopinya, rasa 'aneh' dari arang juga nggak kerasa. tapi aku tetap nggak mau mencobanya. hihihii...
well, setelah asik menikmati menu di angkringan, kami pulang dihadang oleh preman-preman mabuk. untungnya nggak terjadi hal-hal buruk (jangan sampai deh!). ya, meskipun sudah mencoba nasi kucing a la angkringan ITB, tapi masih juga penasaran dengan versi jogja. sama nggak sih?
No comments:
Post a Comment